Kasus Dugaan Pungli di Puskesmas Tanah Putih I Mandek, INPEST Soroti Lambannya Penanganan Polres Rohil

Spread the love

ROKAN HILIR — detik24.com. Penanganan kasus dugaan pungutan liar (pungli) yang menyeret Kepala Puskesmas Tanah Putih I dan Kepala Tata Usaha dinilai mandek atau stagnan. Ketua Umum Independen Pembawa Suara Transparansi (INPEST), Ir. Ganda Mora, S.H., M.Si, mempertanyakan keseriusan Polres Rokan Hilir dalam menindaklanjuti laporan yang dilayangkan hampir dua bulan lalu.

“Sejak 15 Mei 2025 surat panggilan polisi pertama diterbitkan, hingga kini 18 Juli 2025, belum ada perkembangan nyata. Ini kasus sederhana, tapi seperti tidak ada progres,” ujar Ganda kepada media, Jumat (18/7/2025).

Kasus ini mencuat pasca laporan pegawai Puskesmas kepada Bupati Rokan Hilir pada 22 April 2025, yang menyebut Kepala Puskesmas dan Kepala Tata Usaha memaksa ASN, PPPK, dan tenaga honorer menyetor Rp100 ribu per orang demi pembiayaan proses akreditasi Puskesmas.

Namun, pungutan tersebut tidak disertai penjelasan resmi, transparansi penggunaan dana, atau dasar hukum yang sah. Praktik ini diduga sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran terhadap pengelolaan dana negara yang bersumber dari APBD/APBN Tahun Anggaran 2024.

Sudah Ada Pemeriksaan, Tapi Proses Tak Kunjung Terang

Unit Tindak Pidana Korupsi Polres Rohil telah memanggil Bendahara Puskesmas berinisial A pada 15 Mei 2025, berdasarkan surat panggilan nomor: B/476/V/RES.3.3/2025/RESKRIM, dan meminta klarifikasi seputar dugaan pungli tersebut. Kuasa hukum A, Sartoto Hulu, SH, membenarkan bahwa kliennya telah diperiksa oleh penyidik.

Namun hingga kini, belum ada penetapan status hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat. Proses hukum pun dinilai jalan di tempat.

Ganda Mora mengingatkan bahwa dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, tugas dan kewenangan polisi dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan telah diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.

Mengacu pada Pasal 1 angka 5 KUHAP, penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari tahu apakah suatu peristiwa patut diduga merupakan tindak pidana, sebelum naik ke tahap penyidikan.

Sedangkan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana menyatakan bahwa penyelidik dan penyidik wajib bertindak profesional, transparan, dan bertanggung jawab dalam menindaklanjuti setiap laporan masyarakat. Bahkan dalam Pasal 5 Perkap tersebut, dijelaskan bahwa setiap laporan informasi wajib ditelaah paling lambat 7 hari kerja, untuk kemudian dinaikkan ke tahap penyelidikan atau dihentikan dengan alasan yang sah dan tertulis.

“Kalau sampai dua bulan tidak ada kejelasan status perkara, ini bisa disebut sebagai bentuk pengabaian prosedur yang telah ditetapkan sendiri oleh institusi Polri,” tegas Ganda.

Menurutnya, penundaan tanpa alasan jelas dan akuntabel dalam proses hukum hanya akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian, khususnya dalam perkara yang melibatkan keuangan negara.

Ganda Mora menyatakan bahwa INPEST akan terus mengawal proses hukum ini dan siap melaporkan ke Propam Mabes Polri atau Kompolnas jika ditemukan adanya dugaan pelanggaran etik atau pembiaran oleh penyidik.

Back To Top